Translate

Tuesday, November 11, 2014

Gagasan Kontemplatif?

Quo Vadis Khutbah Jumat?
*Budi Santoso

Khutbah  Jum’at merupakan salah satu elemen penting dalam   struktur proses  ibadah Shalat Jum’at. Secara syar’i (hukum Islam), syarat sah ritual Jum’at tidak terpenuhi tanpa adanya 2 khutbah. Secara sederhana, tujuan dari khutbah adalah untuk memberikan nasihat kepada kaum muslimin agar terhindarkan dari kelalaian dan kekeliruan dalam berpikir, bersikap dan berperilaku sesuai dengan kapasitasnya sebagai hamba Allah ‘Adza wa Jalla. Selain itu ibadah Shalat Jum’at memiliki fungsi sosial, politik dan kemasyarakatan yang, bila dipahami dan dipraktekkan secara benar, sangat besar urgensinya dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara.

Nabi Muhammad SAW dan para sahabat selalu memanfaatkan waktu setelah Shalat Jum’at untuk mendiskusikan beragam permasalahan yang terjadi, baik  seputar ibadah maupun mualamalah,  demi kemaslahatan umat. Nabi tahu bahwa aktivitas rutin pribadi   dapat melupakan seorang muslim untuk memikirkan kepentingan diluar diri dan keluarganya.  Hal ini menunjukkan bahwa kolektifitas dalam  berpikir dan berbuat untuk kepentingan masyarakat banyak adalah lebih baik daripada dilakukan secara individual. Namun, yang patut disayangkan adalah, fungsi dan tujuan mulia tersebut saat ini agak bergeser dari konsep idealnya. Ibadah Shalat Jum’at bisa dikatakan hanya menjadi aktifitas rutin “biasa” dan sekadar menolak absen kewajiban. Meskipun makna filosofis yang terkandung di dalamnya sangat luar biasa.

Peran Penting Khatib
Untuk memfokuskan pembahasan, disini penulis membatasi bahasan pada persona sentral tunggal dalam prosesi ibadah Jum’at, yaitu khatib. Ia merupakan faktor penting dalam pelaksanaan keseluruhan rangkaian ibadah. Ia menjadi “penyambung lidah” Rasul sekaligus pemimpin jemaah. Oleh karena itu, khatib bukanlah orang sembarangan. Dia harus mengerti seluk beluk hukum Islam. Puluhan bahkan mungkin ribuan orang mendengar ceramahnya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah khutbah yang disampaikan itu didengarkan (bukan sekadar didengar), dicerna dan direalisasikan oleh mayoritas jemaah dalam kehidupan sehari-hari? Fakta menunjukkan bahwa apa yang menjadi tujuan khutbah itu sendiri sepertinya jauh panggang dari api. Bukan pemandangan aneh bila kita melihat jemaah yang kepalanya turun naik  saat khutbah sedang berlangsung. Bukan karena mengerti atau mengiyakan apa yang dikatakan khatib, melainkan karena ngantuk. Jadi, apa yang diharapkan dari jemaah yang mengantuk, cuek dan apatis? Jadi rasanya tidak berlebihan bila dikatakan ritual khutbah hanya pelengkap dan hilang makna.

Komunikasi Efektif
Dari pengalaman pribadi yang sekian tahun menjadi “pendengar setia” khutbah Jum’at, penulis menggarisbawahi dua faktor utama penyebab hal di atas. Pertama, faktor pribadi khatib sebagai komunikator. Aristoteles (1954:45) menyebutkan bahwa persuasi tercapai karena karakteristik personal pembicara. Karakter itu ia sebut dengan ethos. Ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik dan maksud yang baik. Khatib harus mampu memadukan ketiga unsur tersebut untuk membangun kredibilitasnya dihadapan jemaah. Selain itu, yang tak kalah penting adalah faktor performance khatib, yang meliputi cara berpakaian dan cara penyampaian. Bagaimana jemaah (komunikan) tertarik mendengarkan bila suara khatib tidak tegas dan monoton? Hal ini sangat mungkin bisa untuk menghancurkan kredibilitas khatib.
Dalam konteks keilmuan, proses komunikasi yang terjadi  adalah komunikasi satu arah. Pesan mengalir dari khatib kepada jemaah, sehingga  khatib menjadi titik pusat perhatian orang banyak. Hal ini menyebabkan celah untuk menderita demam panggung   terbuka lebar. Oleh karena itu, persiapan mental, fisik dan strategi mutlak dilakukan secara profesional.
Faktor yang kedua adalah materi atau pesan yang disampaikan. Seorang khatib sejatinya memahami kekuatan kata-kata, the power of words. Lagi-lagi kita bicara fakta, dengarkan materi khutbah yang disampaikan oleh mayoritas khatib maka, kesan yang akan muncul adalah atmosfir monoton dengan materi yang miskin tema dan superfisial. Situasi ini dalam pandangan penulis menyebabkan jemaah menjadi bosan dan tidak tertarik untuk-alih-alih-mendengarkan (to listen) bahkan untuk mendengar (to hear) pun malas. Khatib biasanya menggunakan buku kompilasi khutbah. Jeleknya lagi, mereka terkadang tidak berusaha untuk mengaitkan pesan khutbah dengan permasalahan kontemporer umat sehingga  materi menjadi mentah, kurang esensial dan sedikit substansial.  
Memang, seorang khatib seyogyanya harus mempunyai kemampuan analisa  yang cukup memadai. Sebagai contoh, khatib mengatakan bahwa berhubungan intim dengan PSK itu haram, miras haram, judi haram. Jemaah sudah tahu pesan moral itu. Seorang khatib seharusnya tidak sampai di sana, ia mesti memberikan analisa, misalnya,  mengapa praktek pelacuran atau perzinahan hanya dibasmi ditingkat hotel melati murahan dan tidak pernah menyentuh hotel-hotel berbintang? Atau bagaimana solusi jitu untuk membasmi prostitusi sampai ke akar-akarnya? Mengapa sangat sulit untuk dieliminasi? Apakah program pemerintah selama ini tidak menyentuh aspek yang terdalam? Dan sebagainya. Alih-alih memberikan solusi tepat dan benar mereka seringkali bias dalam meninjau pokok persoalan. Jadi,  sekali lagi, khatib harus sungguh-sungguh memahami kekuatan kata-kata. Ia harus mengolah dan  membungkus   pesan-pesan reliji   dalam kemasan yang menarik dan “laku dijual”. 
Prof. Jalaluddin Rakhmat (2000), mengutip Steward Tubbs dan Sylvia Moss, dua ahli komunikasi dari Amerika, menyebutkan bahwa komunikasi yang efektif setidaknya menimbulkan lima hal: yaitu pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan.  Apabila jemaah merasakan perubahan setelah selesai Jum’atan, merasa lebih baik sebagai manusia, dan berencana untuk menata kehidupan sosialnya menjadi lebih baik, maka proses komunikasi khatib bisa dikatakan sukses meskipun untuk tahap yang lebih tinggi diperlukan penelitian yang lebih jauh. Namun, itulah yang menjadi inti dari khutbah Jum’at itu sendiri, yaitu “memanusiakan” kembali kaum muslimin dalam bobotnya sebagai manusia biasa (ordinary humanbeing) yang sarat dengan  kelalaian, kekeliruan dan  kesalahan  yang selalu mengintai dalam rentang waktu satu minggu.
Sebagai kesimpulan, penulis merasa sudah saatnya para da’i dan khatib benar-benar serius dalam menjalani profesinya sebagai  penerus nabi.   Serius disini dapat diartikan tidak sekadar “berceramah” tetapi juga selalu mencari strategi mutakhir yang sesuai dengan perkembangan zaman. Zaman memang mengikuti Al Quran namun khatib tidak boleh lengah bahwasannya musuh-musuh Islam senantiasa siap perang untuk menghadapi kita. Dai dan khatib adalah ulama yang mempunyai kerja berat yang harus dipertanggungjawabkan kelak  di majelis agung Allah. Sejarah islam mengenal Hamzah sebagai “Singa Padang Pasir”, kini khatib mesti dikenal sebagai “singa podium”. Sekedar untuk diingat, Allah akan memuliakan orang-orang yang menggunakan lidahnya untuk menguntai mutiara ayat-ayatNya. Khalaqol insaana. ‘Allamahul bayaan. (QS 55: 3,4) – Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai bicara. Wallahualam bi ashawab.


Susahnya (Mudahnya?) Jadi Dosen Part 3


Sambungan Part 2... cekidot!

Mobil transport antar kota dalam provinsi berjenis kelamin carry itu pun mulai memasuki jantung Kota Arga Makmur. Seperti yang saya tulis sebelumnya, udara segar pegunungan terasa begitu melenakan. Tak lama, mobil berhenti di terminal kota. Penumpang-penumpang (termasuk saya dong) turun tergesa-gesa, ingin cepat cepat meluruskan pinggang yang serasa bengkok mau patah. krek.. krak..kroook. putar leher kiri kanan, atas bawah. Pantat maju mundur depan belakang.. legaaaa, rileeeks.

Nah, sekarang tinggal cari lokasi kampus tujuan, tempat dimana nanti saya akan mengabdi. Universitas Ratu Samban (Biasa disingkat Unras). Tanya sana sini, akhirnya saya disarankan numpak betor (becak motor). Ga pake argo, tentu. Tapi nego jalan terus. Ongkos disepakati lima ribu perak. Sang abang betor minta saya naik. Dan lagi lagi badan tinggi ini bikin proses masuk ke becak jadi ribet.. "Sebentar, bang. Maklum kaki panjang," Kata saya. "nyantai ajo bang", sahut si betor rider. "kampus tuh dak jaoh dari siko, paling limo menitan". OK deh, ga jauh dari terminal, bagus. jadi kaki saya ga tersiksa lama :).

Si abang betor berkata jujur. Lima menit kurang, transportasi lokal kota kecil ini tiba dengan selamet di kampus Universitas Ratu Samban. Kesan pertama, biasa saja. Kampus ini sama seperti kampus-kampus yang pernah saya lihat atau kunjungi sebelumnya. Dari semula, saya memang tidak mengharapkan lebih karena saya tahu, saya ditempatkan di daerah tingkat dua yang jauh kemana-mana.

Setelah bertemu dengan pihak kampus, mengenalkan diri kepada rektor (yang kebetulan juga PNSD Kopwil 2),  saya balik lagi ke Kota Bengkulu.

Dan... episode perdana kehidupan saya sebagai dosen akan segera dimulai...

Bersambung ke Part 4
Bahan Ajar Teori Komunikasi


Berikut adalah bahan ajar terkait mata kuliah Teori Komunikasi. Mahasiswa dipersilahkan mengunduh materi tersebut. Namun, tentu saja membaca dari sumber utamanya lebih baik dan komprehensif. Selamat belajar!

Silahkan unduh materinya pada tautan berikut:

Pengantar Teori Komunikasi I
Bahan Ajar Pengantar Ilmu Komunikasi 
Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Bahan Ajar ini ditujukan sebagai materi pendukung bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sedang mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi. Materi dalam bahan ajar ini bukan buah pikiran penulis melainkan rangkuman dari beberapa buku yang relevan. 

Penulis berharap mahasiswa dapat lebih mudah dalam memahami pesan verbal dan nonverbal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sebuah proses komunikasi. 

Bahan ajar ini dapat dilihat pada tautan berikut:

Bahan Ajar Pengantar Ilmu Komunikasi

Monday, November 10, 2014

Susahnya (mudahnya?) Jadi Dosen Part 2


Menyambung part sebelumnya...

Demikianlah...saya pun "terdampar" di sebuah kota kabupaten yang tidak pernah saya dengar sebelumnya: Arga Makmur, Bengkulu Utara!. Seumur hidup saya belum pernah ke Kota Bengkulu, eh ini malah lewat sampe ke bagian utaranya. bujubuneng. Setelah mempersiapkan segala sesuatu, mental dan finansial, saya dan tiga orang teman dari Palembang yang bernasib sama berangkat menuju medan pertempuran. Kereta malam jurusan Linggau pun menjadi pilihan. Pertama, naik kereta lebih aman dan nyaman (?). Kedua, ongkosnya lebih murah dibanding numpak travel. Ketiga, badan ga begitu pegel karena bisa tidur selonjoran dengan alas koran (bah! aku masih susah juga tidur, biasa pake spring bed cuy).

Dan kenyamanan yang kami harapkan pun ternyata jauh panggang dari api. S**T!!!. Setiap kereta berhenti di stasiun2 tertentu, berhamburanlah pedagang asongan naik menjajakan dirinya.. ah, dagangannya. Dari P*P Mie, nasi ayam bungkus, bongkol, air mineral berbagai merek, sampai permen dan rokok. Mata yang sudah 3,5 watt kembali terang karena kaki terinjak oleh para asonger itu! Bah!, saya bukannya anti dengan mereka, karena cari nafkah apalagi halal adalah hak dan kewajiban semua umat manusia yang sadar akan hakikat dirinya. Tapi liat-liat dong cuy, ini kaki, bukan batang sapu!

Dan, saat kereta membunyikan pluit panjang tanda masuk stasiun Lubuk Linggau  maka: perjalanan yang - terasa sangat menyedihkan itu, sayang engkau tak disisiku kawan -, akan berakhir segera. yippiyiha! (belakangan saya sadar, perjalanan penuh cobaan ini belum berakhir...uhuk). Kereta malam Palembang - Linggau masuk peron.. tut tut tut... Saya dan kawan yang tiga itu pun turun dengan gontai, sambil seret seret tas koper sebesar gaban. Ngantuk, man!

Begitulah, setelah transit kurang lebih 3 jam, kami pun melanjutkan perjalanan ke Bengkulu dengan menumpang delman istimewa... sorry masih ngantuk.. maksudnya travel istimewa. Mengapa istimewa? karena ini travel satu-satunya yang berjenis kelamin L300 dan ber-AC, sementara yang lain berjenis kelamin bus, dan Non AC, jejal menjejal dengan petani, pesayur, pengamen, dll (maaf, jangan disalahartikan dengan arogansi rasisme ya). Brrrmm, setelah lebih kurang empat jam perjalanan, ribuan kelokan kiri kanan (tikungan Kepahiyang bikin mabuk kepayang,sob!), saya dan rombongan memasuki Kota Bengkulu.. Melewati Danau Dendam Tak Sudah, dan rumah-rumah beratap seng (mayoritas rumah di sana beratap seng, karena faktor keamanan. Bengkulu termasuk daerah patahan, rawan gempa), kami pun sampai ke pool travel. Alhamdulillah.

Kebetulan,  kawan saya yang bernama Aan Z (sekarang ambil  doktoral di Unpad Bandung) punya tetangga di Palembang yang kerja Di BCA Bengkulu, namanya Kak Buyung. Many Thanks to you, Kak Buyung. Beliau menampung kami selama beberapa hari. Aan ditempatkan di Unihaz sementara saya di Ratu Samban, Arga Makmur, 70an KM ke arah utara Kota Bengkulu. Sigh####.

Dan, saya pun menuju Arga Makmur. Satu-satunya angkutan umum menuju kesana adalah minibus jenis carry, yang interiornya sudah dimodifikasi hingga cukup untuk menjejalkan, memampetkan 12 orang! MasyaAllah, sarden aja ga gitu gitu amat menderitanya, bos!
Satu setengah jam kemudian, mobil masuk kota kecil itu. Udara segar menyeruak masuk dari kaca mobil. Lupa sejenak penderitaan karena kesegaran yang begitu alami.. Ya saudara-saudara, Arga Makmur ternyata kota di kaki bukit. Udara sejuk... murni.. dan sepi... (*)

bersambung ke part 3





Susah (mudah?) nya jadi dosen part 1


Dosen, sama seperti guru, merupakan profesi yang (katanya) mulia. Pahlawan tanpa tanda jasa, tanpa pernak-pernik penghargaan di dada. Dulu, saya tidak pernah bercita cita menjadi pengajar. Bukan berarti saya tidak mampu, tapi karena mengajar adalah pekerjaan yang beban tanggung jawabnya sangat besar. Saya kuatir tidak mampu memikul beban yang teramat berat tersebut. Namun, manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Lulus jadi sarjana tahun 2001, saya pulang ke Palembang dalam rangka berlebaran. Berbekal hanya satu tas ransel berisi beberapa potong pakaian, saya mudik. Baju, celana, UW, dan semua buku-buku (yang jumlahnya ratusan, yang belinya dicicil setiap bulan dari uang beasiswa) saya tinggalkan di rumah teman tempat kami menumpang satu tahun belakangan. Itu karena saya punya rencana balik lagi ke Bandung atau ke Jakarta untuk cari peruntungan di stasiun-stasiun tv yang saat itu baru buka.

alhasil, sampailah saya di Kampuang Nan Jauh dimato, tempat aku ditimang dan dibesarkan, dididik dan dibentuk dengan curahan kasih sayang yang melimpah ruah (Thank You ALLAH  for the blessing you give to us), Waktu itu Nopember 2001 bertepatan dengan bulan ramadhan 1423 H. Tidak ada aktivitas yang luar biasa ketika di Palembang. Hanya sekedar silahturahmi dengan safam (baca: sanak famili), kawan-kawan semasa sekolah, kawan-kawan sekampung, nongkrong, gitaran, dan kegiatan ga penting lainnya (ga penting?! ini silahturahmi coy, PENTING!!!).. Begitulah, hari-hari aku isi dengan beribadah puasa; kongkow dengan kawan; baca-baca majalah-majalah lawas (Bobo tahun 80-an, masih tersimpan rapi di lemari buku. cuma warna kertasnya sudah menguning, dan rapuh. Juga ada majalah Selekta, Detektif & Romantika, dll terbitan tahun 50 - 60-an,warisan dari Yai (baca: Kakek,); dan.. menikmati masakan ibunda tercinta Rina Noer binti M Noer, yang super lezat (maklum bos, selama kost banyak prihatinnya).

Singkat cerita, dari hasil silahturahmi itu berjumpalah saya dengan suami sepupu yang dikenal dengan nickname Adek (nama asli: Iswan Djati K, Profesi: Kepsek SMA 4 SKY.. ini rahasia negara sebenernya, tapi keterbukaan informasi lebih penting, ndan!). Dari beliaulah saya dapat info bahwa LB LIA Palembang sedang buka lowongan untuk instruktur Bahasa Inggris. Eng ing eng, dengan semangat '28 saya buat lamaran, kumpulin berkas2, dan brrrrrmmmm tancap gas mengantar surat lamaran langsung ke kantornya (FYI, posisi gedung LBPP LIA masih diseberang apotek Pribumi atau RSMH Palembang, deket juga sama kantor Telkom dan Kodam II Swj di Jalan Jend Soedirman)

Akhirnya, setelah serangkaian test tertulis (English Profiency Test, Interview, dan Kesehatan) saya pun diterima sebagai cagur. Untuk naik level ke posisi guru yang sebenarnya, maka harus ikut pelatihan selama, kalo tidak salah, 3 bulan, dengan instruktur2 TOP dari kantor pusat LIA di Jakarta. Alhamdulillah, proses pelatihan yang menyenangkan dan menyegarkan otak itupun sukses saya lalui dan mulailah saya menjejaki profesi yang tidak pernah terbayang sebelumnya, jadi guru Bahasa Inggris! Sarjana Ilmu Komunikasi, jadi guru Bahasa Inggris! unbelieveable! (jangan lebay brur, sudah tua ah)

Setelah 1,5 tahun menjadi guru, saya jenuh, ingin cari yang baru. Dan terdamparlah saya di perusahaan swasta nasional TRAC Astra, bergerak dibidang rental mobil, sebagai Marketing Officer (MO).
Salah satu tugas dari MO adalah mengantarkan tagihan atau invoice ke konsumen masing2. Nah, disinilah sejarah baru dimulai. Saat sedang ngendon di sebuah kantor proyek kerjasama Uni Eropa - Dinas Kesehatan Kota Palembang, tanpa sengaja saya baca lowongan sebagai Dosen Pegawai Negeri Sipil Dipekerjakan, Kopertis Wilayah II Palembang. PNS (D)ipekerjakan? apa bedanya dengan PNS tanpa D? Ah masbod, pokoknya bikin lamaran dulu. Saya agak jenuh kerja di perusahaan swasta yang ga pandang bulu dan waktu dalam pekerjaan, terlebih saat itu saya baru saja jadi Ayah (Aufa, our beloved son, born on 24 Oct 2004).

Anda mulai jenuh membaca pengalaman yang kurang berharga ini.. ok.. Akhirnya, saya pun ikut test dan alhamdulillah diterima... Many thanks to You Allah, and to my beloved parents and sisters and wife for their prays.

Akhirnya (lagi)... saya pun resmi menjadi dosen PNSD Kopertis Wilayah II Palembang, bagian dari Departemen Pendidikan Nasional RI. Dan ditempatkan di.... BENGKULU UTARA!!! (bersambung ke bag. 2)

Friday, November 7, 2014

Materi Pelatihan ToT Literasi Media

Literasi Media merupakan kemampuan individu untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi isi media (terutama media elektronik). Pergeseran gagasan media dari tujuan idealisme ke tujuan produktivisme menciptakan produk-produk siaran yang hampa nilai,miskin makna, dan cenderung memuja hedonisme. Oleh karena itu, keterampilan individu dalam membentengi dirinya dengan memiliki pengetahuan tentang industri media adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumsel secara konsisten melaksanakan program pelatihan bagi calon-calon instruktur literasi media dalam upaya mengembangkan pola sebaran penguasaan keterampilan ini di tengah masyarakat. Materi yang diunggah ini adalah yang penulis sampaikan pada acara Training of trainers Literasi Media di Lubuk Linggau pada bulan September 2014 lalu. Materi yang ada merupakan rangkuman dari beberapa sumber yang penulis olah sesuai keperluan.

http://www.slideshare.net/budisantosoichsan/tot-literasi-media
Materi Pelatihan Komunikasi Efektif, Pemkab Banyuasin

Pelatihan Komunikasi Efektif ini diselenggarakan pada tanggal 14 Oktober 2014, bertempat di Hotel Amaris. Pelatihan dengan narasumber utama Dr Antar Venus, dosen Fikom Unpad, ini diikuti oleh PNS dan honorer Pemerintah Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Pembicara lain adalah Rika Damayanti (TVRI), Ridwan R (TVRI), Budi Santoso (Stisipol Candradimuka)

Materi pelatihan dapat diunduh pada tautan berikut:

http://www.slideshare.net/budisantosoichsan/komunikasi-efektif-41283250

Wednesday, November 5, 2014

Menjadi manusia

Manusia... saya manusia, anda, yang membaca blog ini, juga manusia. Manusia, menurut Mbah Darwin, yang merupakan jelmaan sempurna dari kera. Manusia diberkahi akal, nafsu, keinginan, dan harapan. Ada manusia yang mampu mengelola akal, nafsu, keinginan, dan harapannya dengan baik sesuai kodrat dan ketentuan. Ada pula yang tidak. Tentu pengelolaan itu tidak bersifat hitam putih, ada aras abu-abu diantaranya. No body's perfect, right?

Manusia, dengan akal dan harapannya mampu menaklukan dunia, tapi juga karena hawa nafsu dan keinginannya bisa bertekuk lutut dibawah telapak kaki dunia. Dunia disayang, dunia dibenci. Yang merasa diperlakukan tidak adil akan membenci dunia, mereka yang memperlakukan orang dengan tidak adil, menyenangi dunia, tapi mereka yang memperlakukan diri sendiri dan orang lain dengan adil akan menguasai dunia.

Menguasai dunia... apa yang bisa dikuasai? harta, tahta, wanita?

Manusia dengan akal budinya, bertanggung jawab untuk mensejahterakan dirinya dan orang lain.

Saya manusia, otomatis saya ketibanan tanggung jawab itu... Tanggung jawab tentu punya konsekuensi logis, bukan sekedar kata tanggung dan kata jawab. Tanggung jawab bermakna mulia dimana seorang manusia memiliki keikhlasan dan keberanian, juga ketaatan terhadap sesuatu.

Saya manusia, yang kebetulan juga seorang dosen. Manusia punya tanggung jawab, dosen adalah manusia, dosen punya tanggung jawab. Menjadi dosen bukan perkara mudah. Bukan sekedar menyiapkan bahan presentasi, membuat soal ujian, dan memberikan nilai ABCDE. Dosen bertanggung jawab untuk memanusiakan manusia. ini tugas yang amat berat. Karena, untuk memanusiakan manusia, sang dosen juga harus memanusiakan dirinya terlebih dahulu.

Memanusiakan manusia bukan berarti sang manusia masih belum bermetamorfosa dari hewan kera. Anda, sang pembaca, pasti tau itu. Memanusian manusia adalah menempatkan sang manusia dalam koridor dan jalur yang seharusnya. Koridor dan jalur yang mana? well, akan sangat beragam jawaban. Untuk menyamakan persepsi, maka kita harus kembalikan kepada sumber yang bersifat pasti. Sumber yang melampaui akal budi manusia, sumber dimana segala bermuara, sumber segala sumber, yakni Zat Hakiki..

wallahualam...